Tegal Jepangnya Indonesia

Tegal, Jepangnya Indonesia

  • Oleh Febrie Hastiyanto

UNGKAPAN Tegal sebagai Jepangnya Indonesia, mungkin hanya menjadi klaim lokal yang diketahui warga Tegal sendiri atau warga di wilayah eks Karesidenan Pekalongan. Meski demikian, klaim itu bukan tidak beralasan. Industri pengolahan merupakan penyumbang 25,81 persen Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Tegal, berada di peringkat kedua setelah perdagangan, hotel, dan restoran (28,64 persen).

Tidak kurang dari 24 jenis industri logam dapat dihasilkan pengrajin Tegal, seperti industri komponen dan suku cadang alat berat, automotif, kapal dan kelautan, listrik, kesehatan, senjata angin, aksesori, perbengkelan, pertanian, perkebunan, bahan bangunan dan rumah tangga, karoseri, pemadam kebakaran, dan peralatan pompa air (Kustomo (ed), 2005).

Tegal juga dikenal sebagai tempat berdirinya lingkungan industri kecil (LIK) pertama di Jawa Tengah.

Kultur Wirausaha

Penduduk Tegal dikenal memiliki kultur wirausaha yang telah menjadi tradisi sejak lama. Keberadaan warung tegal (warteg) yang merajai bisnis makanan di Ibu Kota dan kota-kota lain, bersaing dengan Rumah Makan Padang, menjadi salah satu bukti.

Di bidang industri kecil, kultur itu terbangun sejak kedatangan Ki Gede Sebayu (berkuasa 1601-1620), pendiri Tegal dari tlatah Pajang (Solo). Ki Gede Sebayu membawa serta 40 keluarga pengikutnya, yang ditempatkan di empat desa berbeda sesuai dengan keahliannya. Mereka yang bermukim di Desa Sayangan, andal membuat alat-alat perlengkapan dapur, dan yang menempati Desa Mejasem pandai membuat alat-alat pertukangan.

Pengikut Ki Gede Sebayu yang membuka lahan di Desa Pagongan, ahli membuat alat-alat gerabah, serta penduduk Desa Banjaran piawai mengolah bahan-bahan menjadi penganan atau jajanan.

Kultur itu menemukan momentumnya ketika Haji (Kaji) Gofur (91), salah seorang pengusaha besi asal Tegal mengangkut 21 pesawat terbang tua dari Madiun, Jawa Timur, pada dekade 1970-an. Oleh Kaji Gofur pesawat itu dipretheli menjadi bahan baku industri mesin rumahannya, serta dijual kepada pengusaha lain.

Paling tidak, sejak saat itu industri pengolahan logam mulai bergairah di Tegal. Selain LIK di Dampyak, Kramat, sentra-sentra industri itu tersebar juga di Kecamatan Talang, Tarub, Adiwerna, Kramat, Suradadi, Warureja, Lebaksiu, dan Bumijawa.

Tidak kurang 128.853 orang terserap pada industri-industri pengolahan, dari yang berskala besar, menengah, kecil, hingga mikro. Tidak salah bila kemudian Tegal mengklaim dirinya sebagai kota industri.

Tegal Bangkit

Bisa jadi klaim Tegal sebagai Jepangnya Indonesia atau Tegal sebagai Kota Industri (pengolahan) tidak dikenal publik secara luas, karena penduduk hanya memproduksi bahan komponen. Dengan bentuknya sebagai bahan setengah jadi, konsumen terakhir mungkin tidak sadar dan tidak mengira, bila jendela kedap air, kemudi, atau perlengkapan kapal yang ditumpanginya, atau suku cadang pompa air, rice mill hingga blankwir mobil pemadam kebakaran yang dilihatnya, diproduksi oleh pengrajin Tegal.

Realitas itu, di samping menegaskan keberadaan pengrajin Tegal dalam persepsi konsumen akhir juga membuat mereka menutup diri terhadap kemungkinan untuk lebih maju dan kreatif. Soal kreativitas, memang menjadi problem tersendiri, karena biasanya pengrajin membuat sebuah produk berdasarkan pesanan.

Sudah saatnya pengrajin Tegal berpikir untuk membuat produk hasil kreasi sendiri, bahkan memproduksi barang-barang jadi, tidak lagi sebagai komponen atau suku cadang. Transformasi itu akan lebih menguntungkan secara finansial dan moral hak cipta pengrajin, serta dapat mengangkat nama baik daerah di kancah regional dan nasional.

Pemberdayaan pengrajin juga dapat dilakukan dengan penguatan peran dan fungsi LIK. Problem klasik yang dihadapi pengrajin biasanya berkutat pada pemenuhan bahan baku, kreasi teknologi, serta jangkauan jaringan pemasaran.

Keberadaan LIK sangat strategis sebagai lokalisasi kegiatan wirausaha, dan dapat menjadi wadah pengrajin dalam mengorganisasi diri untuk bersaing di bisnis industri (pengolahan). Lokalisasi dalam LIK juga strategis dalam upaya mengontrol dan mengelola limbah hasil industri pengrajin.

Tidak kalah pentingnya adalah upaya-upaya strategis dalam menyikapi serbuan produk-produk dari China yang lebih murah. Pada level kebijakan, proteksi dapat dilakukan pada kebijakan impor maupun kemauan untuk menggunakan produk lokal. Kampanye penggunaan produk lokal dapat dimulai oleh pemerintah dalam program dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan produk industri (pengolahan). Keberpihakan pemerintah dengan menggunakan produk lokal itu akan membantu pengrajin dalam meluaskan pemasaran produk. Bagi pengrajin, tidak ada cara lain kecuali tetap bertahan sembari mengembangkan diri dengan melakukan kreasi peningkatan mutu, hingga diversifikasi produk.(68)

— Febrie Hastiyanto, pegiat Kelompok Studi IDEA, staf Bapeda Kabupaten Tegal

Sejarah Tegal

Sejarah Kabupaten Tegal
Kekayaan sejarah sebuah kota atau kawasan terlihat dari jejak peninggalan apa yang disebut cultural heritage dan living cultural yang tersisa dan hidup di kawasan tersebut. Keduanya merupakan warisan peradaban umat manusia.

Demikian halnya dengan Kabupaten Tegal, Wilayah yang kaya akan jejak peninggalan kesejarahan sebagai penanda bahwa Kabupaten Tegal sebagai tlatah kawasan tak dapat dilepaskan dari keterkaitan garis sejarah hingga membentuk kawasan sekarang ini.
Penekanan pada bidang pertanian misalnya, tak dapat dilepaskan dari kondisi wilayah dan akar kesejarahan tlatah Kabupaten Tegal yang mengembangkan kapasitasnya selaku wilayah agraris. Tradisi keagrarisan dimulai dari ketokoan Ki Gede Sebayu juru demung trah Pajang. Bahkan kalau dirunut keagrarisan itu dimulai semenjak Mataram Kuno.

Kesaksian ini diperkuat denga ditemukannya artefak kuno dan candi di Pedagangan. Ditambah tlatah Tegal kerapkali dikaitkan dengan kerajaan Pajang dan Mataram Islam yang cenderung kekuasaan dengan basis pada agraris ( De Graaf, 1986).

Juru Demung Ki Gede Sebayu

Tegal berasal dari nama Tetegal, tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian (Depdikbud Kabupaten Tegal, 1984). Sumber lain menyatakan, nama Tegal dipercaya berasal dari kata Teteguall. Sebutan yang diberikan seorang pedagang asal Portugis yaitu Tome Pires yang singgah di Pelabuhan Tegal pada tahun 1500 –an (Suputro, 1955).

Namun sejarah tlatah Kabupaten Tegal tak dapat diepaskan dari ketokohan Ki Gede Sebayu. Namanya dikaitkan dengan trah Majapahit, karena sang ayah Ki Gede Tepus Rumput ( kelak bernama Pangeran Onje) ialah keturunan Batara Katong Adipati Ponorogo yang masih punya kaitan dengan keturunan dinasti Majapahit.

Desa Kendal serut Sentra Kerajinan Anyaman Bambu Kabupaten Tegal

Desa Kendal Serut Sentra Kerajinan Anyaman Bambu Kabupaten Tegal

PANGKAH – Kendal Serut Pusat Kerajinan anyaman Bambu Kabupaten Tegal, Terletak 1km Di sebelah timur kota Slawi yang sebagian besar warganya merupakan pengrajin anyaman bamboo. Walaupun kerajinan bambu saat ini mulai tersisih dari kerajinan bahan lain, namun keberadaanya masih tetap eksis. Terbukti masih banyak masayarakat yang menggunakan barang-barang hasil dari kerajinan bambu. Salah satu sentra kerajinan bambu di Kabupaten Tegal terletak di Desa Kendal Serut Kecamatan Pangkah.

Beberapa hasil kerajinan bambu yang masih dibuat oleh Warga Desa Kendal Serut antara lain kipas, tempat nasi, hiasan dinding, atap dan keranjang bambu. Aktifitas ini mampu menyerap tenaga kerja di desa yang terletak di Pinggiran Sungai Gung ini. Bahkan, beberapa warga menggantungkan kehidupannya di kerajianan ini.

 

Teh Poci Tradisi dan Persahabatan

teh poci

poci

Tegal adalah sebuah kata dari bahasa Jawa yang arti harafiahnya adalah “ladang”.Teh Poci yaitu teh diseduh dalam poci (cerek kecil) dari tanah liat dan ditambah dengan gula batu dan diminum panas-panas, minuman ini sangat disukai oleh masyarakat Tegal, Slawi, Pemalang, Brebes dan sekitarnya. Ada istilah teh poci “WASGITEL” singkatan dari wangi, panas, sepet, legi, lan (dan) kentel (kental), yang artinya teh panas, manis, wangi beraroma bunga melati dan berwarna hitam pekat/kental.Teh Poci biasanya menggunakan teh (hijau) melati yang mengeluarkan aroma yang khas, dan biasa disajikan dipagi atau sore / malam hari dengan ditemani makanan kecil. Poci yang digunakan untuk menyeduh teh poci biasanya bagian dalam pocinya tidak pernah dicuci tetapi cukup dibuang sisa tehnya saja. Hal ini dipercaya masyarakat Tegal kerak sisa teh tadi akan menambah cita rasa dan aroma teh poci menjadi semakin enak.Di luar daerah Tegal teh poci dapat dijumpai di warteg (Warung Tegal). Perangkat minum teh poci yang asli adalah poci (cerek kecil) dan cangkir dari tanah liat.Hidangan minuman ini disajikan dengan gula batu dan lebih pas diminum selagi masih hangat agak panas. Gula batu (disebut juga Rock Sugar) adalah gula yang dibuat dari gula pasir, yang dikristalkan, melalui bantuan air yang dipanaskan.Biasanya ditambahkan ke dalam teh, harum dan manis rasanya.Bahan dan alat yang diperlukan untuk membuat gula batu antara lain panci , gula pasir , benang (kapas atau wol) , penyangga benang , dan Jar (tempat yang terbuat dari kaca). Cara umum membuat gula batu yaitu:Tuangkan air ke dalam panci dan panaskan air hingga mendidih. Kecilkan pemanas, sedikit demi sedikit tambahkan gula, sambil diaduk perlahan-lahan. Matikan pemanas. Sambil diaduk, tambahkan lagi gula, sampai terlihat butiran-butiran gula yang tidak dapat larut dalam air . Biarkan hingga dingin. Air panas dapat melarutkan jauh lebih banyak gula, dibandingkan dengan air dingin) , (Hati-hati ! , air gula panas dapat menyebabkan luka bakar yang parah). Setelah dingin, tuangkan ke dalam Jar . Ikatkan benang itu pada penyangga benang, kemudian taruh di atas Jar, sementara benang-nya tercelup (jangan menyentuh dasar atau pinggir Jar). Tunggu hingga kristal gula, mulai kelihatan terbentuk. Semakin luas permukaan Jar, semakin cepat gula mendingin, dan semakin cepat kristal gula terbentuk). Pada benang, akan terlihat kristal gula yang terbentuk dan sedang bertumbuh. Setelah mencapai ukuran seberapa besar kristal gula yang diinginkan, angkat benang, dan keringkan kristal itu. Kebiasaaan minum teh poci atau moci telah menjadi tradisi bagi orang Tegal, ini disebabkan pertumbuhan pabrik-pabrik teh di Tegal pada tahun 1930-an yang menyebabkan timbulnya tradisi itu. Minum teh menjadi gencar sejak zaman kolonial hingga kini dan sudah menjadi budaya lokal.

Loco Antik PG. Pangka

PANGKA – PG Pangka, perusahaan (pabrik) penghasil gula pasir berlokasi di desa Pangkah Kec. Pangkah, satu-satunya pabrik gula pasir yang masih eksis di Kabupaten Tegal, dahulu ada beberapa pabrik gula pasir seperti di Kemanglen, Dukuhwringin, Pagongan, Kemantran, Ujungrusi dan Balapulang, notabene adalah peninggalan Belanda.

PG Pangka didirikan pada jaman kolonial Belanda pada tahun 1832 oleh pemiliknya “NV MIJTOT EXPLOITATIE DERT SUIKER FABRIKEN, dikelola oleh NV KOSY dan SUCIER yang bekedudukan di Surakarta. Pada waktu pendiriaanya ribuan tenaga kerja pribumi dikerahkan dengan sistem kerja paksa oleh pemerintah kolonial Belanda. Berdasarkan UU Nomor 86 Tahun 1958, PG Pangka telah diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia atau istilah popular pada saat itu “di Nasionalisasi”

Hal menarik hingga kini tentang operasionalisasi PG Pangka adalah transpotasi tebu masih menggunakan rel kereta, dibangun lebih 150 tahun yang lalu dengan lokomotif kuno bermesin uap maupun diesel, terbuat pada kisaran tahun 1915. Dijamannya, penggunaan kontruksi rel kereta dan lokomotif uap merupakan rekayasa teknologi canggih. Masih beroperasinya lokomotif kuno mengundang minat wisatawan asing yang umumnya dari eropa berkunjung ke PG Pangka. Selain tertarik dengan lokomotif tua yang masih berfungsi, mereka juga kagum pada pengolahan gula yang masih menggunakan teknologi era 1800-an, sesuatu yang langka untuk ukuran perusahaan eropa saat ini. Berkunjung ke PG Pangka adalah belajar sejarah dengan nyata, bukan dari buku atau film dokumenter. Bahkan diantara wisatawan mencoba lokomotif uap sampai berulang-ulang, bangga rasanya masih bisa menggunakan hasil karya kakek-kakek saya. Demikian pengakuannya. Anak cucu pendiri dan pengelola pabrik era kolonial Belanda juga banyak berkunjung, mereka senang bisa bernostalgia dimana orang tua dan kakeknya dulu pernah tinggal, berkunjung ke pabrik dan jalan-jalan diperkebunan tebu, sambil membayangkan kakek-kakek mereka dulu bekerja.

Fenomena yang dapat dikembangkan menjadi wisata eksklusif, bila umumnya berkunjung ke museum hanya melihat barang-barang saksi sejarah, maka melihat PG Pangka adalah bicara pada sejarah peradaban manusia yang terus berkata-kata. Atas inisiatif Laksono Hujianto, maka dicetuskan suatu ide obyek wisata dalam jingle “Loco Antik”, suatu paket wisata bernuansa langka sebagai media edukasi dan rekreasi. Loco Antik merupakan ikon representasi dari loco yang terbuat pada tahun 1927. Ditarik lokomotif tua, digunakan dalam perjalanan wisata rekreasi melihat pemandangan perkebunan tebu dengan jarak ± 10 Km. Kapasitas loko antik terdiri dari 3 gerbong kereta dengan kapasitas 75 untuk orang dewasa, sedang untuk anak-anak bisa memuat sampai 100 anak. Ada dua jalur yang ditawarkan : 1. Jalur arah Barat Laut, melintasi perkampungan dan perkebunan tebu ; 2. Jalur Timur Laut, melintasi perkebunan tebu sambil menikmati keindahan pegunungan Waduk Cacaban. Wisata loco antik ditunjang dengan kegiatan : 1. Kunjungan lebih dekat tentang proses pembuatan gula pasir dari tebu. Kegiatan ini hanya bisa disaksikan pada musim giling yaitu periode Mei sampai dengan Oktober ; 2. Presentasi deskriptif tentang sejarah PG Pangka dan tata cara baku menanam tebu; 3. Acara ekslusif yang dinantikan pengunjung, bahkan wisatawan mancanegara adalah ritual “Temanten Tebu”, acara yang dilaksanakan hanya sekali dalam setahun, tepatnya pada selamatan pesta giling (April-Mei). Ritual yang mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan sang penguasa alam. Simbol penganten tebu, diambil dari tebu milik petani dan milik PG Pangka. Satu simbol persatuan antara petani dan PG dalam menyongsong panen raya dan giling. Konon sinar wajah temanten dapat mencerminkan berhasil atau tidak dalam pasca panen, tidak percaya ? buktikan.

Obyek lain yang cukup menarik adalah “Misteri Rumah Besaran”, rumah berlantai dua tempat manajer dan perwira Belanda sebagai pembesar pada saat itu mengadakan pertemuan membahas permasalahan perusahaan dan keamanan. Bangunan langka ini sering digunakan untuk sebagai objek fotografer bahkan pernah untuk lokasi syuting film. Sekarang rumah ini ditempati oleh Administratur PG Pangka, dilantai atas ada satu ruangan yang tidak sembarangan orang bisa masuk, konon ada benda-benda keramat peninggalan Tuan Halbossh, Sosok misteri yang selalu melekat selama PG Pangka masih ada. Banyak sudah wisatawan mancanegara dan domestik berkunjung, tidak kecuali pelajar dari TK sampai mahasiswa untuk studi sejarah peradaban teknologi pengolahan gula pasir, dari proses tanam sampai produksi. Suatu pembelajaran dalam menghargai etape peradaban anak bangsa. Tidak salah memang, jika “Loco Antik” merupakan salah satu alternatif sebagai media rekreasi dan edukasi.

Guci Desa Wisata Kabupaten Tegal

Guci adalah Desa wisata Kabupaten Tegal yang memiliki luas 210 ha, terletak di kaki Gunung Slamet bagian utara dengan ketinggian kurang lebih 1.050 meter. Dari kota Slawi berjarak ± 30 km sedangkan dari kota Tegal berjarak tempuh sekitar 40 km ke arah selatan.

Air yang mengalir dari pancuran-pancuran di obyek wisata ini dipercaya bisa menyembuhkan penyakit seperti rematik, koreng serta penyakit kulit lainnya, khususnya Pemandian Pancuran 13 yang memang memiliki pancuran berjumlah tigabelas buah serta pancuran 7.

Ada sekitar 10 air terjun yang terdapat di daerah Guci. Di bagian atas pemandian umum pancuran 13, terdapat air terjun dengan air dingin bernama Air Terjun Jedor. Dinamai begitu karena dulu tempat di sekitar air terjun setinggi 15 meter itu adalah milik seorang Lurah yang bernama Lurah Jedor. Untuk berkeliling di sekitar obyek wisata dapat dilakukan dengan menyewa kuda dengan tarif sewa yang relatif murah.

Objek wisata ini biasanya ramai dikunjungi pada malam Jumat Kliwon. Banyak orang yang ngalap berkah. Konon, kalau mandi pada jam dua belas malam dengan memohon sesuatu, permohonan apapun akan dikabulkan. Kepercayaan ini sudah turun-temurun.

Sahibul hikayat, air panas Guci adalah air yang diberikan Walisongo kepada orang yang mereka utus untuk menyiarkan agama Islam ke Jawa Tengah bagian barat di sekitar Tegal. Karena air itu ditempatkan di sebuah guci (poci), dan berkhasiat mendatangkan berkat, masyarakat menyebut lokasi pemberian air itu dengan nama Guci. Tapi karena air pemberian wali itu sangat terbatas, pada malam Jumat Kliwon, salah seorang sunan menancapkan tongkat saktinya ke tanah. Atas izin Tuhan, mengalirlah air panas tanpa belerang yang penuh rahmat ini.

Fasilitas yang tersedia antara lain penginapan (kelas Melati sampai berbintang), wisata hutan (wana wisata), kolam renang air panas, lapangan tennis, lapangan sepak bola, dan bumi perkemahan.

Waduk Cacaban Tegal

Waduk Cacaban adalah sebuah bendungan yang terletak di Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Indonesia. Luas areal waduk adalah 928,7 ha dan berisi air sebanyak 90 juta m³. Waduk ini didukung dengan latar belakang pemandangan hutan dengan panorama yang indah.

Waduk Cacaban diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1952. Waduk ini sebenarnya berfungsi mengairi sawah-sawah di sekitarnya, namun juga difungsikan sebagai obyek wisata. Letaknya tidak jauh dari Slawi, lebih kurang 9 km ke arah timur tepatnya di desa Karanganyar, Kecamatan Kedungbanteng, dan merupakan salah satu obyek wisata di daerah tersebut. Cacaban adalah objek wisata andalan di Kabupaten Tegal, selain wisata Guci dan Pantai Purwahamba Indah. Wisatawan dapat menikmati suasana santai, dengan memancing ikan, jalan-jalan di atas bendungan ataupun dapat mengelilingi waduk dengan Kapal motor. Adapun makanan khasnya adalah aneka ikan air tawar yang setiap saat tersedia.

Fasilitas wisata yang ada:

  • Arena pemancingan yang luas
  • Jalan-jalan di atas waduk/bendungan
  • mengelilingi waduk dengan kapal motor

Ki Lurah Semar

Ki Lurah Semar hanyalah sebuah simbol, simbol arifnya berpikir dan bijaknya bertindak, sejak jaman Wali Songo, simbol hitam putih ini selalu dikedepankan untuk mengajak orang berbuat untuk tidak “nyleneh” dan selalu lurus dalam rel kebajikan.

Ki Lurah Semar adalah simbol penengah dan pendamai, dalam lakon wayang simbol ini selalu menjadi acuan kubu Pandawa dan kubu Kurawa yang bersebrangan, bahkan barata sekaliber Kresna-pun tetap meminta pertimbangannya dalam menentukan sikap kenegaraannya.

Punakawan Abdi Kinasih Kesatria Pendhawa Lima Ki lurah Semar, Nala Gareng, Petruk Kanthong Bolong dan Kilurah Bagong“Tanggap ing sasmita dan Limpat Pasang ing Grahita, dan Cakra-Manggilingan” “Pinangka mrih hamemayu hayuning bawana” “Puna” atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat.

 

Semar Badranaya

Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Tegal

Sejarah Kabupaten Tegal

Sejarah Tegal
Kekayaan sejarah sebuah kota atau kawasan terlihat dari jejak peninggalan apa yang disebut cultural heritage dan living cultural yang tersisa dan hidup di kawasan tersebut. Keduanya merupakan warisan peradaban umat manusia.

Demikian halnya dengan Kabupaten Tegal, Wilayah yang kaya akan jejak peninggalan kesejarahan sebagai penanda bahwa Kabupaten Tegal sebagai tlatah kawasan tak dapat dilepaskan dari keterkaitan garis sejarah hingga membentuk kawasan sekarang ini.
Penekanan pada bidang pertanian misalnya, tak dapat dilepaskan dari kondisi wilayah dan akar kesejarahan tlatah Kabupaten Tegal yang mengembangkan kapasitasnya selaku wilayah agraris. Tradisi keagrarisan dimulai dari ketokoan Ki Gede Sebayu juru demung trah Pajang. Bahkan kalau dirunut keagrarisan itu dimulai semenjak Mataram Kuno.

Kesaksian ini diperkuat denga ditemukannya artefak kuno dan candi di Pedagangan. Ditambah tlatah Tegal kerapkali dikaitkan dengan kerajaan Pajang dan Mataram Islam yang cenderung kekuasaan dengan basis pada agraris ( De Graaf, 1986).

Juru Demung Ki Gede Sebayu

Tegal berasal dari nama Tetegal, tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian (Depdikbud Kabupaten Tegal, 1984). Sumber lain menyatakan, nama Tegal dipercaya berasal dari kata Teteguall. Sebutan yang diberikan seorang pedagang asal Portugis yaitu Tome Pires yang singgah di Pelabuhan Tegal pada tahun 1500 –an (Suputro, 1955).

Namun sejarah tlatah Kabupaten Tegal tak dapat diepaskan dari ketokohan Ki Gede Sebayu. Namanya dikaitkan dengan trah Majapahit, karena sang ayah Ki Gede Tepus Rumput ( kelak bernama Pangeran Onje) ialah keturunan Batara Katong Adipati Ponorogo yang masih punya kaitan dengan keturunan dinasti Majapahit (Sugeng Priyadi, 2002).